KOMITE SEKOLAH: ANTARA HARAPAN IDEAL DAN TANTANGAN REALITAS
Oleh: Rudy Azhary
Komite Sekolah merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari ekosistem pendidikan di Indonesia. Keberadaannya bukan sekadar pelengkap administratif, tetapi sebagai wadah partisipasi masyarakat dalam meningkatkan mutu layanan pendidikan. Sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 56 ayat (3), Komite Sekolah berfungsi memberikan pertimbangan, arahan, dukungan, serta pengawasan terhadap penyelenggaraan pendidikan di satuan pendidikan.
Dalam praktiknya, Komite Sekolah memiliki peran strategis sebagai pengawas, pemberi saran dan solusi, penyalur aspirasi orang tua atau wali murid, serta mitra dialogis yang menjembatani hubungan antara masyarakat dan pihak sekolah. Namun, idealisme tersebut kerap berbenturan dengan realitas di lapangan. Tak jarang, posisi Komite disalahgunakan oleh pihak-pihak yang berkepentingan demi keuntungan pribadi maupun kelompok. Misalnya, ada yang memanfaatkan kedekatan dengan sekolah agar anak atau kerabatnya mendapat perlakuan istimewa, atau terlibat dalam proyek-proyek pembangunan fisik.
Oleh karena itu, proses pembentukan pengurus Komite Sekolah hendaknya dilakukan secara demokratis, terbuka, dan berdasarkan prinsip meritokrasi. Pengurus yang dipilih semestinya memiliki kecakapan, integritas, wawasan pendidikan yang luas, serta kemampuan menjalin komunikasi yang sehat dengan seluruh pemangku kepentingan. Setiap calon seharusnya menyampaikan visi dan misi sebelum ditetapkan sebagai pengurus, agar masyarakat dapat menilai kelayakan dan komitmennya secara objektif.
Salah satu isu krusial dalam hubungan antara sekolah dan Komite adalah persoalan sumbangan dan pungutan. Kerap kali, perbedaan antara “sumbangan sukarela” dan “pungutan wajib” menjadi kabur di tengah masyarakat. Dalam hal ini, Permendikbud Nomor 75 Tahun 2016 tentang Komite Sekolah dengan tegas mengatur bahwa:
Pasal 10 ayat (1) menyatakan: “Komite Sekolah dilarang melakukan pungutan dari peserta didik atau orang tua/walinya.”
Pasal 10 ayat (2) menjelaskan: “Komite Sekolah dapat menerima sumbangan dari peserta didik atau orang tua/walinya, baik perseorangan maupun kolektif, sepanjang bersifat sukarela, tidak memaksa, dan tidak mengikat.”
Sayangnya, praktik di lapangan masih menunjukkan bahwa pungutan kerap disamarkan dalam bentuk “kesepakatan” yang sebenarnya tidak sepenuhnya sukarela. Ini menciptakan kesan bahwa Komite menjadi perpanjangan tangan kebijakan sekolah yang memberatkan wali murid, alih-alih menjadi pengawas yang berpihak kepada kepentingan peserta didik dan masyarakat.
Padahal, peran Komite tidak hanya terbatas pada urusan dana dan infrastruktur. Komite juga dapat mengambil peran nonfisik yang sangat penting, seperti menjadi penghubung dengan masyarakat luar, menghadirkan narasumber untuk mendukung pembelajaran, serta menginisiasi program edukatif di luar kurikulum formal. Misalnya, kegiatan penyuluhan bahaya narkoba, pencegahan kekerasan seksual, penanggulangan kenakalan remaja, dan pembinaan karakter siswa merupakan bagian dari kontribusi nyata yang dapat dilakukan Komite.
Komite Sekolah sejatinya adalah mitra kritis sekaligus konstruktif bagi satuan pendidikan. Mereka bukan pesaing atau “tameng” sekolah, melainkan jembatan dialog dan pengawasan publik yang sehat. Agar peran tersebut dapat dijalankan secara optimal, maka semua pihak—baik sekolah, orang tua, maupun masyarakat—perlu memahami peraturan yang mengatur peran dan batasan Komite. Dengan demikian, tata kelola pendidikan dapat berjalan lebih transparan, akuntabel, dan berorientasi pada kepentingan terbaik bagi peserta didik.
Semoga opini ini dapat menjadi pengingat sekaligus penguat komitmen kita bersama dalam membangun pendidikan yang lebih baik dan berintegritas di Indonesia.
0 comments on “KOMITE SEKOLAH: ANTARA HARAPAN IDEAL DAN TANTANGAN REALITAS”